Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengungkapkan bahwa sistem peringatan dini tsunami di kebanyakan negara belum efektif mengantisipasi terjadinya bencana tsunami. Terutama yang dipicu aktivitas non seismik.
Menurut Dwikorita, sistem peringatan dini tsunami yang ada umumnya hanya ditujukan untuk tsunami megathrust yang sebelumnya didahului oleh gempa bumi besar.
Dia pun menyinggung 2 peristiwa tsunami yang pernah melanda Indonesia.
“Indonesia pernah merasakan dua kali tsunami yang justru bukan disebabkan gempa bumi, yaitu tsunami Palu yang terjadi pada bulan September 2018 disebabkan tanah longsor. Dan, tsunami Selat Sunda yang terjadi pada bulan Desember 2018 yang dipicu aktivitas gunung berapi,” kata Dwikorita dalam keterangan di situs resmi BMKG, dikutip Kamis (9/11/2023).
Karena itu, ujarnya, ketidakmampuan sistem peringatan dini tsunami pada tahun 2018 dalam memberikan informasi yang cepat terhadap tsunami yang dipicu aktivitas non-seismik, menjadi pelajaran penting yang segera ditindaklanjuti oleh BMKG.
“Dengan kejadian tsunami Tahun 2018 tersebut, Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) semakin dikuatkan dengan menambah jumlah peralatan sensor gempa untuk merapatkan jaringan monitoring,” ujarnya.
Di sisi lain, dia menambahkan, kesiap-siagaan masyarakat adalah yang terpenting, terlepas dari kemajuan teknologi sistem peringatan dini.
“Masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah pesisir rawan tsunami sangat membutuhkan pendidikan dan kesadaran untuk merespons secara efektif. Mereka memiliki keterbatasan dalam mengakses peringatan dini,” katanya.
“Pengetahuan tentang kearifan lokal dapat secara efektif mengakomodasi kemampuan untuk mengakses peringatan dini bagi masyarakat terpencil. Jadi, kolaborasi antara teknologi dan kearifan lokal dapat memperkuat sistem peringatan dini gempa bumi dan tsunami,” tutur Dwikorita.
Di sisi lain, dia mengatakan, teknologi tidak selamanya bisa diandalkan dalam situasi darurat. Dia mencontohkan saat Jepang diguncang gempa bumi dan tsunami Maret 2011 silam. Saat itu, ujarnya, meski Jepang memiliki sistem peringatan dini yang canggih, jumlah korban meninggal akibat kejadian tersebut mencapai lebih dari 18.000 jiwa.
“Realitas tersebut menunjukkan bahwa teknologi tidak dapat menjamin keandalan sebuah sistem peringatan dini. Maka, selain melakukan modernisasi alat dan teknologi, BMKG juga terus mendorong pelestarian kearifan lokal masyarakat mengenai bencana alam,” katanya.
“Indonesia memiliki banyak sekali khasanah pengetahuan lokal mengenai bencana alam. Diantaranya, Smong di Pulau Simeulue Aceh, Bomba Talu di Palu, Caah Laut di Lebak, dan lain sebagainya. Smong di Aceh bahkan telah terbukti mampu menyelamatkan banyak nyawa saat gempa bumi dan tsunami menghantam pesisir Aceh 2004 silam,” pungkas Dwikorita.