Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu disebut memiliki “simbiosis aneh” dengan Hamas, yang memerintah Gaza, Palestina. Bahkan, dalam laporan The Washington Post, ia dianggap banyak pengamat sengaja “melindungi” Hamas.
Netanyahu, memimpin pemerintahan Israel tanpa terputus antara tahun 2009 dan 2020. Ia kemudian kembali berkuasa pada bulan Desember 2022.
Sebenarnya, ia telah berulang kali bersumpah untuk menghancurkan Hamas selama masa jabatannya. Namun di sisi lain, Netanyahu malah menerapkan kebijakan yang membantu kelompok tersebut mempertahankan cengkeramannya atas Gaza, lapor media AS tersebut.
“Ini adalah aliansi aneh yang telah berakhir,” kata sejarawan Israel Adam Raz, yang telah mempelajari hubungan antara perdana menteri dan kelompok militan tersebut, dimuat media itu, dikutip Senin (27/11/2023).
“Hamas tidak akan menjadi pemerintah Gaza. Dan saya pikir kita dapat berasumsi bahwa Netanyahu mendekati akhir karir politiknya (dengan adanya Hamas),” tambahnya.
Dalam 10 tahun terakhir misalnya, ujar Raz, Netanyahu telah berupaya memblokir segala upaya untuk menghancurkan Hamas di Gaza selama ia memimpin. Padahal, kedua Belah pihak hampir mencapai pemulihan hubungan pada tahun 2018.
Kabinet perdana menteri itu menyetujui transfer uang dari Qatar yang digunakan untuk membayar gaji publik di Gaza. Termasuk memperbaiki infrastruktur lokal, dan bahkan mendanai operasi Hamas.
Tujuan dari kebijakan Netanyahu diduga untuk memecah belah rakyat Palestina. Dengan membiarkan Hamas menguasai Gaza dan membiarkan saingannya dari Otoritas Palestina menguasai Tepi Barat.
Politisi tersebut dilaporkan menganggap Hamas berguna dalam menghentikan proses perdamaian Israel-Palestina. Bahkan, berguna untuk mengganggu pembentukan negara Palestina.
“Tanpa kepemimpinan yang bersatu, Bibi (sebutan Netanyahu) bisa mengatakan bahwa dia tidak bisa melanjutkan perundingan perdamaian,” kata seorang jajak pendapat dan analis politik Israel, Dahlia Scheindlin.
“Hal ini memungkinkan dia untuk berkata, ‘Tidak ada orang yang bisa diajak bicara’,” tegasnya.
Ini pun dilihat oleh penulis biografi Netanyahu, Anshel Pfeffer. Dengan keberadaan Hamas dan situasi Palestina yang pecah belah, ia bisa mengesampingkan “pertanyaan Palestina” sejak ia menjabat.
“Sebaliknya, Netanyahu berfokus pada Iran dan ancaman-ancaman lain serta perkembangan Israel menjadi kekuatan ekonomi,” ujarnya.
“Netanyahu selalu merasa bahwa konflik Palestina adalah gangguan yang digunakan sebagai isu yang mengganggu di Israel … Dia menyebutnya ‘lubang kelinci’,” tambahnya.
Kantor Netanyahu menolak memberikan siapa pun untuk memberikan tanggapan mengenai hal tersebut. Namun seorang pejabat senior pemerintah yang enggan disebutkan namanya membantah bahwa Netanyahu pernah menerapkan kebijakan untuk mempertahankan kekuasaan Hamas.
“Dia adalah perdana menteri yang paling banyak dikutip dalam sejarah, dan saya rasa Anda tidak akan menemukan satu pun pernyataannya yang melobi untuk memperkuat Hamas,” kata pejabat itu.
“Yang terjadi justru sebaliknya. Dia memukul Hamas lebih keras dari perdana menteri mana pun dalam sejarah. Dia memimpin tiga operasi militer skala besar melawan Hamas pada tahun 2012, 2014 dan 2021,” tambahnya.
“Salah satu aspek yang harus disoroti dari peran Netanyahu adalah usahanya untuk memecah belah Palestina demi keuntungan Israel. Dengan Hamas menguasai Gaza dan saingannya dari Otoritas Palestina menguasai Tepi Barat. Itu adalah aliansi aneh yang berakhir,” katanya.
Keberadaan Hamas di Gaza juga bermanfaat bagi Israel. Hubungan perdamaian antara Israel dengan beberapa negara tetangga Arab juga mengalami peningkatan. Demikian juga dengan ekspor Israel yang tumbuh, ditambah dengan semakin banyaknya izin bagi warga Gaza untuk bekerja di Israel.
“Sementara itu di Gaza, masih dimuat Washington Post, di mana pemilu belum pernah diadakan sejak tahun 2006, lebih sulit untuk mengukur dukungan terhadap Hamas. Sebelum perang, ketakutan akan pembalasan Hamas menjadikan kritik terhadap rezim hanya sekedar bisikan. Kini, gangguan besar-besaran akibat pemboman dan pengungsian membuat pemungutan suara hampir mustahil dilakukan. Beberapa survei baru-baru ini menunjukkan berlanjutnya dukungan terhadap Hamas, seiring dengan meningkatnya kemarahan terhadap Israel selama serangan militer yang sedang berlangsung,” ujar media itu.