Seorang taipan real estate asal Amerika Serikat (AS) Barry Sternlicht menggalang dukungan untuk kampanye media yang mendukung Israel dan menjelek-jelekkan kelompok Hamas Palestina. Informasi itu diketahui dari sebuah email yang dilihat oleh situs berita Semafor, kampanye media yang disebut Facts for Peace tersebut tengah mencari sumbangan jutaan dolar dari puluhan nama besar dunia di bidang media, keuangan, hingga teknologi. “Lebih dari 50 orang sedang didekati, termasuk mantan CEO Google Eric Schmidt, CEO Dell Michael Dell dan pemodal Michael Milken. Mereka memiliki kekayaan bersih gabungan sekitar US$ 500 miliar (Rp 7.854 triliun),” tulis Semafor, sebagaimana dilansir dari Al Jazeera, dikutip Minggu (26/11/2023). Sternlicht yang memulai proyek tersebut, mengatakan kampanye ini akan membantu Israel “menjadi yang terdepan” ketika dunia bereaksi terhadap serangan intensif Israel di Jalur Gaza. “Opini publik pasti akan berubah karena adegan, nyata atau dibuat-buat oleh Hamas, mengenai penderitaan warga sipil Palestina pasti akan mengikis empati [Israel] saat ini di komunitas dunia”, tulis Sternlicht dalam email tersebut, seperti dikutip Al Jazeera. “Kita harus mendahului narasinya.” Israel sendiri telah melakukan serangan udara tanpa henti di Jalur Gaza sejak 7 Oktober, dengan menewaskan sedikitnya 11.100 warga Palestina, termasuk 4.500 anak-anak, membuat 1,5 juta orang mengungsi, dan merusak sebagian besar infrastruktur wilayah tersebut. Sementara, serangan mendadak Hamas di wilayah Israel pada 7 Oktober menewaskan sekitar 1.200 warga Israel, menurut pejabat Israel. Dorongan media Sternlicht bertujuan untuk mencap Hamas sebagai “organisasi teroris” yang “bukan hanya musuh Israel, tetapi juga musuh Amerika Serikat”. Tujuannya yakni untuk mengumpulkan US$ 50 juta dari sumbangan pribadi, yang dipadukan dengan sumbangan dari badan amal Yahudi. Sebagai informasi, Facts For Peace, kampanye media yang diluncurkan oleh Sternlicht, bertujuan untuk memenangkan kembali dukungan publik terhadap Israel, mengunggah video di halaman media sosialnya yang menyalahkan Hamas atas penderitaan rakyat Palestina dan menyangkal klaim pelanggaran hak asasi manusia oleh Israel. Video terbaru yang diunggah di laman Facebook-nya menyatakan bahwa “Israel bukanlah negara apartheid”. Hal ini bertentangan dengan temuan para pakar hak asasi manusia Palestina, Israel, dan internasional, termasuk dari PBB, bahwa Israel mempraktikkan apartheid melalui “sistem hukum dan politik ganda yang sangat diskriminatif” di wilayah pendudukan. Israel menduduki Tepi Barat, Yerusalem Timur dan Gaza dalam perang 1967 dan kemudian mencaplok Yerusalem Timur. Mereka menarik pasukannya dari Gaza pada tahun 2005 namun terus mempertahankan pengepungan di wilayah berpenduduk 2,3 juta orang. Israel terus memperluas permukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, sebuah langkah yang dianggap ilegal menurut hukum internasional.