Presiden Brasil Juscelino Kubitschek memutuskan untuk memindahkan ibukota Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia 67 tahun yang lalu. Alasannya sederhana, Rio de Janeiro tidak lagi ideal sebagai ibukota negara karena overpopulasi dan kepadatan pesisirnya. Kubitschek juga ingin meratakan pembangunan dan kesejahteraan ke daerah interior Brasil.
Keputusan tersebut mendapat beragam respons, ada yang mendukung karena dianggap visioner, namun ada pula yang mencemooh dan mempertanyakan darimana uangnya. Kubitschek akhirnya berhasil memindahkan dan membangun ibukota baru dari nol, suatu hal yang sebelumnya selalu gagal dieksekusi oleh para pendahulunya.
Duta Besar Brasil untuk Indonesia, Rubem Antonio Barbosa, menyatakan bahwa keputusan Kubitschek adalah tepat dan berhasil meratakan populasi serta memberikan tolok ukur keberhasilan ekonomi dengan memiliki pendapatan per kapita tertinggi di Brasil dan Latin Amerika.
Meskipun demikian, tidak ada ibukota yang sempurna, termasuk Brasilia yang memiliki masalahnya sendiri. Namun, sejak 1987 Brasilia didapuk sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO karena arsitektur modernis dan tata kotanya yang unik.
Lebih dari 30 negara telah berpindah ibukota dalam 100 tahun terakhir seiring dengan dinamika yang berubah. Hal ini menjadi realitas yang dihadapi termasuk oleh Indonesia.
Pemindahan ibukota Indonesia juga bukan hanya tentang relokasi geografis, tetapi tentang meredefinisi prioritas pembangunan, pemerataan kesejahteraan, dan menata ulang pusat gravitasi ekonomi dan politik. Keputusan ini, seperti yang diambil oleh Kubitschek, mungkin tidak mudah tetapi dapat membuahkan hasil di masa depan.
Indonesia sedang memasuki babak baru dalam sejarahnya, yang kelak akan menjadi cerita inspiratif bagi generasi yang akan datang, babak itu ada di Nusantara.