Alasannya Bensin Hijau Masih Mahal, Ternyata Masih Tinggi

by -347 Views

PT Pertamina Patra Niaga, Subholding Commercial & Trading Pertamina, mengakui bahwa saat ini harga bahan bakar “hijau” berbasis tetes tebu (molase) alias bioetanol masih terhitung mahal.

Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan menyebut, harga dasar bioetanol sendiri kini memang masih lebih mahal dibandingkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).

“Memang harga dasar dari etanol itu sendiri lebih tinggi justru dibandingkan dengan fuel,” ungkap Riva dalam program Energy Corner CNBC Indonesia, dikutip Rabu (6/12/2023).

Adapun alasan dibalik mahalnya harga jual bioetanol tersebut salah satunya adalah karena produk tersebut masih dikenakan bea cukai.

Dengan begitu, pihaknya saat ini tengah mengkoordinasikan dengan Kementerian Keuangan untuk membebaskan cukai bioetanol. Pasalnya, produk bioetanol yang dihasilkan untuk bahan campuran BBM bukanlah untuk konsumsi dalam tubuh.

“Namun, memang ada beberapa upaya, salah satunya adalah koordinasi yang kami lakukan dengan Kementerian Keuangan untuk bisa mendapatkan fasilitas bebas cukai itu tadi, untuk yang fuel grade daripada etanol,” jelas Riva.

Riva menjelaskan, pencampuran bioetanol dalam BBM juga merupakan dukungan perusahaan pada pemerintah untuk menjalankan swasembada gula seperti yang termuat di dalam peta jalan yang menjadi amanat Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel).

“Juga menjadi perhatian dan juga menjadi tujuan kita, kita adalah mencoba align dengan tadi Perpres no. 40 (tahun 2023) untuk bisa mendukung pemerintah di dalam mencapai swasembada gula,” tambahnya.

Jika bioetanol sebagai campuran BBM tersebut bisa bebas cukai, maka produksi BBM berkualitas yang ramah lingkungan bisa terus berlanjut.

“Kita juga berupaya untuk menciptakan dan juga untuk memproduksi produk-produk yang berkualitas dan juga lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan,” tandasnya.

Sebelumnya, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha menyebut salah satu kendala pengembangan bioetanol di dalam negeri yaitu pungutan bea cukai untuk etanol fuel grade yang akan digunakan sebagai campuran BBM. Kondisi ini menurutnya cukup memberatkan bagi pengembangan bioetanol di Tanah Air.

“Kita coba nanti komunikasikan kepada Kementerian Keuangan yang kebetulan Menteri Keuangan juga anggota DEN untuk bisa membedah sehingga molase (tetesan tebu) itu bisa digunakan secara maksimal di dalam negeri. Nah itu yang menjadi apa menjadi pemikiran kita,” kata Satya dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, Selasa (28/11/2023).

Apalagi, lanjutnya, saat ini pemerintah juga telah menegaskan PT Pertamina (Persero) untuk memanfaatkan produksi bioetanol sebagai campuran BBM.

“Bioetanolnya itu biasanya di TBBM (Terminal BBM) Plumpang itu dikirim ke beberapa daerah. Pada waktu pengiriman saja itu transportasinya juga memakan cost karena produksinya ditampungnya di TBBM Plumpang, kalau dikirim ke Jawa Timur harus menggunakan truk tangki sehingga harga di Jawa Timur sudah akan lebih nambah lagi. Maka kenapa perlu ada insentif,” tuturnya.

Di samping itu, Satya mengungkapkan Indonesia juga mempunyai target produksi bioetanol yang berasal dari tanaman tebu hingga 1,2 juta kiloliter (kl) pada tahun 2030.

Hal tersebut termuat di dalam peta jalan yang menjadi amanat Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel).

Seperti diketahui, Pertamina kini telah mencampurkan bioetanol 5% (E5), khususnya yang berasal dari tetes tebu (molase), ke dalam BBM Pertamax (RON 92), sehingga menghasilkan produk setara RON 95 atau Pertamax Green 95. Penjualan Pertamax Green 95 ini telah dilakukan sejak Juni 2023.

Adapun penjualan Pertamax Green 95 saat ini telah mencapai 5.000 liter per hari atau sekitar 150.000 liter per bulan.