Hamas memberikan isyarat perdamaian kepada Israel di Gaza, wilayah Palestina. Kepala biro politik Hamas, Ismail Haniyeh, mengatakan kelompok militan tersebut terbuka untuk perundingan guna mengakhiri perang.
Dalam pidatonya yang disiarkan di televisi, ia mengungkapkan bahwa Hamas siap untuk berdialog dengan Israel. Ia berharap bahwa perundingan di masa depan dapat menciptakan “rumah Palestina”, baik di Tepi Barat maupun Jalur Gaza.
“Kami terbuka untuk mendiskusikan pengaturan atau inisiatif apapun yang dapat mengakhiri agresi dan mengarah pada jalur politik yang menjamin hak rakyat Palestina atas negara merdeka mereka dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya,” paparnya dikutip RT, Kamis (14/12/2023).
Namun, dia juga memperingatkan bahwa segala usaha untuk mengecualikan Hamas dan kelompok bersenjata lainnya dari penyelesaian pasca perang akan menjadi ilusi belaka. Menurutnya, faksi perlawanan harus dilibatkan dalam proses tersebut.
Israel melancarkan kampanye militer di Gaza untuk membalas serangan Hamas ke tembok perbatasan pada 7 Oktober dan menyerbu pemukiman dan pangkalan militer di Israel selatan. Para pejabat Israel mengatakan lebih dari 1.200 orang tewas akibat serangan tersebut.
Meskipun beralasan untuk mengeliminasi Hamas, serangan Israel telah menimbulkan 18 ribu korban jiwa di antara warga sipil Gaza. Selain itu, serangan ini juga memaksa ratusan ribu warga di wilayah kantong Palestina itu mengungsi.
Komentar Haniyeh muncul hanya satu hari setelah Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa negara Palestina tidak mungkin terwujud. Ia bahkan bersumpah untuk tidak pernah mengulangi kesalahan Perjanjian Oslo, perjanjian perdamaian tahun 1993 yang menciptakan peta jalan bagi negara Palestina yang berdaulat.
Lebih dari 30 tahun kemudian, pasukan Israel terus menduduki Tepi Barat, yang diisi wilayah pemukiman Yahudi berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Di sisi lain, Pemerintah Israel mempertahankan blokade ketat di Jalur Gaza.
Amerika Serikat (AS), yang masih menjadi donor militer utama Israel, telah menyuarakan dukungannya untuk “jeda” singkat dalam pertempuran tersebut. Namun, ia terus menentang gencatan senjata yang lebih panjang, dengan alasan bahwa hal itu hanya akan membantu Hamas.