Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan program pencampuran Bahan Bakar Nabati (BBN) bioetanol ke dalam BBM jenis bensin sebesar 10% (E10) akan dimulai antara tahun 2029 atau 2030. Direktur Bioenergi EBTKE Kementerian ESDM, Edi Wibowo mengatakan rencana peningkatan dari campuran bioetanol 5 persen (E5) menjadi 10% (E10) pada BBM sejatinya masih menunggu revisi aturan yang berlaku. Saat ini roadmap penerapan mandatory bioetanol masih mengacu pada Peraturan Menteri ESDM No. 12 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan Dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain.
“Dengan kita menuju 5% secara bertahap dengan klaster tertentu apabila sudah tercukupi kita lakukan secara nasional kemudian juga nanti kita harapkan asumsi kita 2023 sampai 2028 itu masih gunakan E5, kemudian nanti untuk tahun 2029-2030 sampai 2035 menuju ke E10,” kata Edi dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, Rabu (20/12/2023).
Meski demikian, ia mengaku pengembangan bioetanol di dalam negeri masih berkutat pada persoalan pasokan bahan baku. Pasalnya, saat ini pemerintah masih mengandalkan bahan baku seperti tebu atau gula untuk pembuatan bioetanol. Sementara, bahan baku pembuatan bioetanol sejatinya tidak hanya terbatas pada komoditas tebu. Karena itu, pihaknya akan melihat potensi dari tanaman lainnya yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol pengganti tebu.
“Kedepan kita juga perlu mendiversifikasi bahan baku seperti sorgum kemudian singkong, jagung dan sebagainya. Seperti negara negara lain yang maju kan Amerika kemudian Brazil itu kan juga dengan tebu dan jagungnya. Sebenarnya kita negara tropis sangat mungkin dikembangkan tanaman lain,” katanya.