Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan bahwa pertumbuhan likuiditas atau dana pihak ketiga (DPK) melambat disebabkan oleh semakin banyaknya instrumen investasi, sehingga masyarakat tidak hanya menabung di bank, tetapi juga masuk ke berbagai instrumen investasi.
“Dulunya hanya di DPK, di tabungan di perbankan, sekarang bisa beli SBN, ritel maupun investasi-investasi yang lain, sehingga memang untuk kelompok menengah ini memang penurunan DPK antara lain ada pergeseran dari dulunya di DPK ke pembelian obligasi pemerintah,” tutur Perry saat konferensi pers di kantor pusat BI, Jakarta, dikutip Jumat (22/12/2023).
Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga mengkritik industri perbankan yang lambat menyalurkan kredit. Menurutnya, bank terlalu banyak menaruh dananya di surat berharga. Jokowi mengajak perbankan untuk lebih memperbanyak penyaluran kredit, terutama bagi usaha mikro kecil dan menengah.
Berdasarkan laporan pelaku usaha, peredaran uang kini makin kering. Ada indikasi, kata Jokowi, hal tersebut terjadi karena pembelian instrumen yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.
Per November 2023, BI mencatat dana pihak ketiga (DPK) hanya tumbuh 3,04% yoy, jauh lebih rendah dari November 2022 yang tumbuhnya 8,78% yoy. Deputi Gubernur BI Juda Agung juga mengatakan bahwa kondisi lemahnya pertumbuhan DPK itu terutama disebabkan golongan nasabah korporasi.
Likuiditas perbankan yang tetap memadai juga didukung oleh kebijakan makroprudensial akomodatif, antara lain implementasi Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM). Total tambahan likuiditas dari insentif KLM mencapai Rp163,3 triliun per Desember 2023 atau meningkat sebesar Rp55 triliun sejak penerapan KLM pada 1 Oktober 2023.