Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengakui kebijakan pemerintah belum fokus menjaga ‘dompet’ alias daya beli kelas menengah. Padahal, daya beli kelompok ini tidak terlalu cukup kuat untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Menurutnya, pemerintah selama ini memang fokus pada penanganan ekonomi masyarakat miskin atau yang tergolong ke dalam 20% kelas terbawah, melalui berbagai program bantuan sosial. Sedangkan kelas menengah belum ada fokus kebijakan dalam APBN.
“Terkait middle class itu adalah sesuatu yang memang perlu kita terus kalibrasi policy-policy karena dalam fiskal fokusnya memang selama ini untuk bottom 20%, kita selama ini sudah relatif well establish,” kata Sri Mulyani dalam acara seminar Nasional Outlook Perekonomian Indonesia 2024 di Hotel St Regis, Jakarta, Jumat (22/12/2023).
“Ada by name, by address apakah itu PKH sembako atau berbagai policy-policy untuk masyarakat berpenghasilan rendah,” tegasnya.
Namun, Sri Mulyani menjelaskan fokus kebijakan dalam APBN untuk kelas menengah belum secara khusus masuk akibat daya belinya berbeda antar percentile kelasnya, demikian juga dengan pola perilakunya.
“Middle class ini memang range nya masih sangat besar kalau kita bicara percentile 3 sampai 7 itu variety dari behavior-nya beda-beda, purchasing power-nya beda-beda,” ucap Sri Mulyani.
Oleh sebab itu, untuk menopang keberlangsungan hidup masyarakat kelas menengah, yang bisa dilakukan pemerintah saat ini kata dia adalah memastikan seluruh sektor pelayanan publik itu terjangkau dengan kualitas yang baik.
“Makanya kalau bicara masalah infrastruktur sampah pendidikan ini jadi sesuatu yang menjadi perhatian, air bersih, listrik, internet itu menjadi sesuatu yang menjadi kebutuhan middle class, mereka membutuhkan itu tapi mereka tidak punya daya beli yang besar juga makanya itu harus tersedia dan affordable dan mereka mulai tuntut kualitas,” tegasnya.
Maka, APBN menurutnya masuk melalui kebijakan itu untuk menopang kehidupan kelas menengah, salah satunya melalui transfer ke daerah supaya pembangunan di daerah diarahkan untuk menjaga kualitas pelayanan publik. Namun, dia mengakui permasalahannya kerap terjadi di pemerintah daerah dalam merealisasikan peningkatan kualitas infrastruktur itu.
“Ini yang coba kita lakukan transfer ke daerah masalah sampah, air bersih, sanitasi itu menjadi fokus, apakah melalui KPBU itu salah satu proyek sampah ini cukup lama persiapannya dan kita ada beberap tempat di Bekasi, Jakarta, lalu Lampung kita bicara beberapa daerah yang belum cracking the code secara mudah,” ungkap Sri Mulyani
“Di Jawa Timur, Bali, itu sampah sudah cukup lama bicara KPBU tapi back and forth aja, ini sesuatu yang kita perlu perbaiki karena delay penyelesaian masalah sampah makin numpuk aja dia sampahnya. Air bersih juga sama,” tegas Sri Mulyani.
Demikian juga terkait persoalan internet yang seharusnya bisa mendukung aktivitas masyarakat secara terjangkau. Namun, menurutnya setelah pemerintah berinvestasi dengan besar untuk infrastruktur digital itu malah terjadi permasalahan tata kelola pembangunannya, sehingga tidak bisa terealisasi dengan cepat.
“Itu yang harus kita catch up supaya kita bisa kembalikan dan kemudian untuk infrastruktur lain relatif sudah bisa on the pipeline dan bisa jalan. Jadi saya setuju juga masalah itu,” kata dia.
Sebelumnya, permasalahan penanganan ekonomi kelas menengah ini diingatkan oleh mantan Menteri Keuangan Chatib Basri dalam acara yang sama dengan Sri Mulyani. Ia mengatakan bahwa jika kelas menengah yang biasanya memiliki porsi terbesar dalam struktur masyarakat tak terurus bisa menimbulkan masalah sosial dan ekonomi seperti di Chile, dengan istilah yang terkenal Chilean Paradox.