Jangan Sampai Salah! Perbedaan Perhitungan PPh Jomblo dan Sudah Menikah Bikin Berbeda Lho

by -52 Views

Pengenaan Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) antara pekerja yang belum menikah dengan yang sudah menikah memiliki perbedaan. Hal ini sesuai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2023. PP tersebut tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi ini ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 27 Desember 2023, dan berlaku 1 Januari 2024. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti menjelaskan, penerapan aturan ini semata untuk memberikan kemudahan dalam penghitungan pajak terutang bagi para wajib pajak.

Dwi menjelaskan, sebelumnya, untuk menentukan pajak terutang, pemberi kerja harus mengurangkan biaya jabatan, biaya pensiun, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari penghasilan bruto. Hasilnya baru dikalikan dengan tarif pasal 17 UU PPh. “Dengan PP ini, penghitungan pajak terutang cukup dilakukan dengan cara mengalikan penghasilan bruto dengan tarif efektif,” ucapnya dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (2/1/2024).

Tarif efektif yang dikenalkan DJP dengan istilah tarif efektif rata-rata (TER), dibagi menjadi tarif efektif bulanan dan tarif efektif harian. Untuk tarif efektif bulanan berdasarkan besarnya penghasilan tidak kena pajak sesuai status perkawinan dan jumlah tanggungan. Sedangkan untuk tarif efektif harian pemotongannya bagi penghasilan yang diterima secara harian, mingguan, satuan, atau borongan.

Tarif efektif yang digunakan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan ini termasuk pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota tentara nasional Indonesia, anggota kepolisian negara Republik Indonesia, dan pensiunannya.

Dalam hal penghasilan tidak diterima secara harian, dasar penerapan yang digunakan adalah jumlah rata-rata penghasilan sehari yaitu rata-rata upah mingguan, upah satuan, atau upah borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan.

Selain itu, terdapat pula pengkategorian tarif pemotongan PPh Pasal 21 khusus tarif efektif bulanan, rinciannya sebagai berikut:

Kategori PPh Pasal 21:
Kategori A: Diterapkan atas penghasilan bruto bulanan yang diterima atau diperoleh penerima penghasilan dengan status Penghasilan Tidak Kena Pajak:
1. Tidak kawin tanpa tanggungan
2. Tidak kawin dengan jumlah tanggungan 1 orang
3. atau Kawin tanpa tanggungan

Kategori B: Diterapkan atas penghasilan bruto bulanan yang diterima atau diperoleh penerima penghasilan dengan status Penghasilan Tidak Kena Pajak:
1. tidak kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak 2 (dua) orang
2. tidak kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak 3 (tiga) orang
3. kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak I (satu) orang
4. kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak 2 (dua) orang

Kategori C: Diterapkan atas penghasilan bruto bulanan yang diterima atau diperoleh penerima penghasilan dengan status Penghasilan Tidak Kena Pajak kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak 3 (tiga) orang.

Berikut ini contoh penerapannya sebagaimana tercantum dalam PP 58/2023:

Tuan R bekerja sebagai pegawai tetap pada perusahaan PT ABC. Selama 2024, gaji Tuan R sebesar Rp10.000.000,O0 (sepuluh juta rupiah) per bulan dan membayar iuran pensiun sebesar Rp100.000,O0 (seratus ribu rupiah) per bulan. Tuan R berstatus menikah dan tidak memiliki tanggungan (Penghasilan Tidak Kena Pajak K/0), atau dengan artian masuk kategori A. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah sebagai berikut:

Berdasarkan status PTKP (K/O) dan jumlah penghasilan bruto sebulan Rp 10.000.000,0O (sepuluh juta rupiah), pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Tuan R untuk masa pajak Januari 2024 sampai November 2024 dilakukan dengan menggunakan tarif efektif Kategori A yaitu dengan tarif sebesar 2% (dua persen). Besaran Pajak Penghasilan Pasal 21 per bulan yang dipotong oleh PT ABC atas penghasilan Tuan R untuk masa pajak Januari sampai November 2024 adalah sebesar Rp10.000.000,00 x 2% = Rp200.000,00.

Lalu, pada bulan Desember 2024, penghitungan besarnya pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Turan R dalam satu tahun pajak (Januari-Desember 2024) dilakukan dengan menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan. Dengan demikian, Besaran PPh pasal 21 yang dipotong PT ABC atas penghasilan Tuan R untuk masa pajak Desember 2024 sebagai berikut:

Gaji Rp 10 juta x 12 bulan = Rp 120 juta setahun Pengurangan terdiri dari biaya jabatan 5% x Rp 120 juta = Rp 6 juta, dan iuran pensiun Rp 100 ribu x 12 = Rp 1,2 juta, sehingga total pengurangnya Rp 7,2 juta. Dengan demikian, total penghasilan neto setahunnya adalah sebesar Rp 112,8 juta. Lalu dikurangi dengan PTKP setahun Rp 58,5 juta, sehingga penghasilan kena pajak setahunnya menjadi Rp 54,3 juta.

Penghitungan pajak penghasilan pasal 21 setahunnya selanjutnya menggunakan rumus tarif pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPh x penghasilan kena pajak setahun. Jadi, 5% x Rp 54,3 juta = Rp 2.715,000. Sehingga total potongan pajak penghasilan pasal 21 khusus bulan Desember 2024 menjadi menggunakan rumus PPh Pasal 21 setahun – jumlah PPh Pasal 21 bulan Januari 2024 sampai dengan November 2024 yang telah dipotong.

Jadi Rp 2.715.000 – (Rp 200.000 x 11) = Rp 515.000.