Siasat Menjegal Trauma Pascabencana – prabowo2024.net

by -1095 Views

Trauma bisa terjadi pada setiap korban atau penyintas dari suatu kejadian bencana. Namun, tidak semua penyintas akan mengalami fase trauma. Salah satu contoh yang mengalami trauma setelah bencana adalah Palupi Budi Aristya (Upi). Upi mengungkapkan bahwa trauma yang ia rasakan lebih karena posisi panik pasca letusan gunung dan kekhawatiran bahwa kejadian tersebut akan terulang kembali. Kejadian ini terjadi saat ia masih duduk di kelas 3 SD ketika Gunung Merapi meletus pada tahun 2010.

Cuaca dan gunung Merapi yang aktif kembali meningkatkan kengerian Upi, meskipun ia telah pindah ke rumah baru yang berjarak sekitar 10 km dari gunung tersebut. Ia masih merasa cemas dan takut karena aktivitas gunung meningkat dalam beberapa hari terakhir, dan dia merasa panik setiap kali terdengar suara letusan. Namun, Upi bisa dianggap sebagai salah satu penyintas yang mampu pulih dengan baik dari fase stres dan frustasi akibat kejadian bencana.

Berbeda dengan Upi, Muhammad Arista Ramadhani (Aris), mengalami trauma yang lebih sulit dan panjang setelah bencana gempa dan tsunami Aceh tahun 2004. Aris kehilangan rumahnya yang berada tepat di bibir pantai dan harus menyaksikan kota tersapu gelombang tsunami. Pengalaman ini membuat Aris merasa gemetaran setiap kali mendengar suara motor, merasa takut ketika ada gempa, dan bahkan takut lihat ombak. Meskipun telah melewati bertahun-tahun, gejala traumatik tersebut masih membekas pada Aris.

Namun, Upi dan Aris tidak dapat digolongkan ke dalam fase PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) karena tidak semua penyintas akan sampai pada fase tersebut. Banyak penyintas, berkat resiliensi yang baik serta dukungan komunitas, hanya mengalami fase stres sesaat kemudian pulih kembali seiring membaiknya situasi pascabencana. Wahyu Cahyono, praktisi Psikologi Kebencanaan menjelaskan bahwa setelah kejadian bencana, seseorang merasa linglung, panik, atau murung adalah hal yang wajar dan normal dalam situasi tidak normal (bencana).

Dukungan psikologis awal, atau dukungan psikososial, sangat penting dalam membantu korban bencana untuk mengelola dampak psikologis yang mereka rasakan akibat bencana. Para relawan yang terlibat dalam pendampingan psikologis awal bagi korban bencana memiliki peran penting dalam menyelamatkan korban bencana tersebut agar tidak terjerumus ke dalam fase PTSD. Dukungan psikososial ini unik karena berbeda dengan bentuk dukungan pada umumnya yang muncul saat kejadian bencana. Hal ini menjadi bukti bahwa dukungan psikososial tak kalah pentingnya dengan dukungan materi bagi korban bencana.

Source link