Kelompok ekstremis Israel menerobos wilayah Gaza, dengan tujuan merebut wilayah dan membangun pemukiman ilegal. Mereka berhasil menerobos pos penjagaan Tentara Israel atau Israel Defense Forces (IDF).
Kejadian tersebut terjadi di daerah Erez, yang berbatasan langsung dengan wilayah Utara Gaza. Para ekstremis Israel melakukan penerobosan di pos pemeriksaan IDF dengan menggunakan kekerasan, demikian dilaporkan oleh militer Israel dalam pernyataan resminya seperti yang dikutip oleh The New Arab pada Sabtu (2/3/2024).
Insiden ini bermula ketika kelompok sayap kanan Israel berkumpul di kota Sderot, yang merupakan titik terdekat dengan Jalur Gaza, sebelum membentuk konvoi dan bermotor menuju Erez untuk menyerbu pos pemeriksaan IDF.
Kelompok tersebut membawa pita oranye, yang merupakan simbol dari gerakan sayap kanan ekstremis Israel. Gerakan ini bertujuan untuk kembali menduduki pemukiman ilegal Gush Katif di Gaza, yang ditinggalkan ketika Israel menarik diri dari wilayah Palestina pada tahun 2005.
Beberapa anggota kelompok berhasil memasuki wilayah Gaza sejauh setengah kilometer, sementara yang lain membangun dua bangunan di perbatasan, sebagai tanda niat mereka untuk menduduki tanah Palestina berdasarkan hukum internasional.
Seorang anggota gerakan tersebut mengungkapkan kepada Anadolu Agency bahwa 500 keluarga secara sukarela kembali ke Gaza, dan gerakan tersebut percaya bahwa Israel hanya akan aman jika “permukiman dan kota-kota Yahudi didirikan” di dalam Gaza.
Kelompok ekstremis sayap kanan Israel ini dikabarkan dekat dengan politisi sayap kanan seperti Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, yang merupakan bagian dari pemerintahan koalisi yang dipimpin oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Gerakan ‘kembali’ atau ‘return’ dan ‘settlement’ atau ‘pemukim’ Israel tersebut mendukung visi terbentuknya Israel Raya yang mencakup seluruh Tepi Barat dan Gaza, bahkan ada yang berharap termasuk wilayah Yordania, Suriah, Lebanon, dan Mesir, dengan membayangkan wilayah tanpa warga Palestina atau non-Yahudi.
Kondisi ini membahayakan rakyat Palestina di Gaza, terutama di Gaza Utara, mengingat lebih dari 85% penduduk Gaza saat ini tinggal di wilayah selatan, sebagian besar di antaranya merupakan warga Palestina yang terpaksa mengungsi karena serangan brutal Israel di wilayah utara sejak 7 Oktober 2024.
Ben-Gvir dan Smotrich secara terbuka menyatakan harapan mereka bahwa penduduk Palestina di Gaza akan “berimigrasi”, yang menurut mereka akan membuka lebar pintu bagi pemukiman Yahudi-Israel di wilayah Palestina.
Pemerintah AS telah memperingatkan Israel untuk tidak mengusir atau memukimkan kembali penduduk Gaza. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS menegaskan pada bulan Januari bahwa “Gaza adalah tanah Palestina dan akan terus menjadi milik Palestina.”