Aksi solidaritas terhadap Palestina terdengar di beberapa kampus terkemuka di Amerika Serikat (AS). Hal ini menciptakan tensi baru karena beberapa kampus menganggap aksi tersebut anti-Yahudi atau dikenal sebagai anti-Semitisme.
Salah satunya terjadi di Universitas Columbia pada hari Senin, ketika sekelompok besar mahasiswa melakukan demonstrasi mendirikan Kamp Solidaritas Gaza di halaman institusi pendidikan tersebut. Namun aksi tersebut tidak berjalan lancar karena laporan mahasiswa Yahudi mengenai intimidasi dan anti-Semitisme.
Rektor Columbia, Nemat Shafik turun tangan. Dalam surat terbukanya kepada komunitas universitas, ia menyatakan perlunya ‘pengaturan ulang’ terhadap aksi-aksi solidaritas Palestina.
Pihaknya juga memerintahkan agar perkuliahan di Universitas Columbia dialihkan secara online untuk sementara waktu. Ia mengungkapkan bahwa sikap anti-semit tidak dapat diterima di kampus tersebut.
“Ujaran anti-Semit, seperti ujaran lain yang digunakan untuk menyakiti dan menakuti orang, tidak dapat diterima dan tindakan yang tepat akan diambil,” ujarnya dilansir dari AFP, Selasa (23/4/2024).
“Untuk meredakan ketegangan dan memberikan kita semua kesempatan untuk mempertimbangkan langkah selanjutnya, saya mengumumkan bahwa semua kelas akan diadakan secara virtual pada hari Senin,” tambahnya.
Awalnya, demonstran pro-Palestina mulai menyuarakan protes mereka satu pekan sebelumnya. Mereka menyerukan agar universitas tersebut melakukan divestasi dari perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan dengan Israel.
Lebih dari 100 orang ditangkap setelah otoritas universitas memanggil polisi ke kampus swasta tersebut pada Kamis. Tindakan ini tampaknya meningkatkan ketegangan dan memicu kehadiran lebih banyak orang pada akhir pekan.
Mimi Elias, seorang mahasiswa yang ditangkap, mengatakan kepada AFP bahwa mereka akan tetap tinggal sampai pihak kampus berbicara dan mendengarkan tuntutan mereka.
“Kami tidak menginginkan anti-Semitisme atau Islamofobia. Kami di sini untuk pembebasan semua orang,” kata Elias.
Joseph Howley, seorang profesor ilmu klasik di Columbia, mengatakan universitas tersebut salah menggunakan alat dengan melibatkan polisi. Hal ini justru menarik lebih banyak elemen radikal.
“Anda tidak bisa mendisiplinkan dan menghukum untuk keluar dari prasangka dan ketidaksepakatan masyarakat,” kata Howley.
Protes tersebut juga menyebar ke kampus lain seperti MIT, University New York (NYU), dan Universitas Michigan.
Di Universitas Yale, setidaknya 47 orang ditangkap pada hari Senin. Hal ini terjadi setelah mereka menolak permintaan untuk membubarkan diri.
“Universitas memutuskan untuk menangkap orang-orang yang enggan meninggalkan alun-alun dengan mempertimbangkan keselamatan dan keamanan seluruh komunitas Yale dan memungkinkan semua anggota komunitas kami mengakses fasilitas universitas,” kata pernyataan dari Yale, yang merupakan bagian dari kampus Ivy League.
“Siswa yang ditangkap juga akan dirujuk untuk tindakan disipliner yang mencakup serangkaian sanksi seperti peringatan, masa percobaan, atau skorsing,” tambahnya.
Universitas telah menjadi pusat perdebatan budaya yang intens di AS sejak serangan Hamas pada 7 Oktober dan respons militer Israel yang luar biasa terhadap serangan tersebut. Hamas sendiri menyebut serangan mereka sebagai balasan atas pendudukan Israel di Palestina.
“Saya juga mengutuk orang-orang yang tidak memahami situasi di Palestina,” kata Presiden AS Joe Biden dalam pernyataan terbarunya Senin, sambil mengutuk protes tanpa memberikan rincian lebih lanjut.
Walikota New York Eric Adams bersumpah bahwa polisi akan menangkap siapa pun yang melanggar hukum, termasuk yang memanggil kekerasan kepada pihak tertentu.
“Kita tidak boleh mendorong penghancuran siapa pun, kita tidak boleh mendorong kekerasan kepada siapa pun. Itu bukan tujuan dari protes,” katanya kepada CNN International.