Ditulis oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]
Di medan perang, Slamet Riyadi selalu berada di depan pasukannya. Slamet Riyadi, dengan pasukannya yang terkenal dan legendaris, selalu berhasil menahan pasukan Belanda. Slamet Riyadi membuktikan bahwa TNI dan Republik Indonesia bisa menyerang pusat kekuasaan Belanda, termasuk Surakarta (Solo), yang dipertahankan dengan senjata berat, artileri, pasukan infanteri, dan komandan yang baik.
Letnan Kolonel Slamet Riyadi telah membuktikan kepada generasi penerus pemimpin TNI bahwa ia adalah seorang pemimpin yang selalu memimpin dari garis depan. Ia selalu hadir di tempat dan saat yang paling kritis, mengendalikan situasi secara langsung dan memberikan contoh. Ia tidak gentar dihadapi bahaya apapun, dan ia memberikan hidupnya demi kemuliaan Indonesia dan TNI.
Pada usia yang sangat muda, Ignatius Slamet Riyadi, lahir pada 26 Juli 1927, membentuk pasukan gerilya untuk mendukung proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Ia telah berjuang sejak era kolonial Jepang. Saat awal penjajahan Jepang, Slamet Riyadi, yang berasal dari Solo, masuk ke Akademi Angkatan Laut Pemerintahan Militer Jepang di Jakarta.
Pada suatu kesempatan, ia bertemu dengan sesama nasionalis yang sedang bersekongkol untuk mengusir Jepang. Ketika Jepang akhirnya kalah dalam Perang Dunia II, Slamet Riyadi mengajak rekan-rekannya pelaut untuk membawa senjata. Mereka bahkan berhasil menguasai sebuah kapal Jepang.
Setelah itu, Slamet Riyadi kembali ke Solo dan mengumpulkan para pemuda dari bekas angkatan bersenjata yang diorganisir oleh Jepang seperti PETA, Heiho, Kaigun untuk mendukung perjuangan Rakyat Solo melawan pasukan Belanda yang mencoba merebut kembali Indonesia.
Slamet Riyadi terlibat langsung dalam berbagai pertempuran melawan Belanda dalam perjuangannya, termasuk saat Agresi Militer Belanda I dan II. Slamet Riyadi memimpin pasukan di beberapa wilayah di Jawa Tengah, termasuk di Ambarawa dan Semarang.
Di medan perang, Slamet Riyadi selalu berada di depan pasukannya. Slamet Riyadi, dengan pasukannya yang terkenal dan legendaris, selalu berhasil menahan pasukan Belanda. Ia membuktikan bahwa TNI dan Republik Indonesia bisa menyerang pusat kekuasaan Belanda, termasuk Surakarta, yang saat itu dijaga ketat dengan artileri, pasukan infanteri, dan komando.
Slamet Riyadi, dengan pangkat Letnan Kolonel, adalah seorang prajurit yang memimpin Serangan Umum Solo pada 7-10 Agustus 1949. Serangan tersebut, yang juga dikenal sebagai Serangan Umum Empat Hari, dilakukan sebelum gencatan senjata berlaku untuk menunjukkan kekuatan TNI dalam mengusir Belanda dari negeri. Karena serangan yang sukses, Slamet Riyadi diberi wewenang atas Surakarta oleh Belanda melalui perintah Mayor Jenderal F. Mollinger.
Perjuangan Slamet Riyadi tidak berakhir di situ. Slamet Riyadi juga dikirim ke Jawa Barat untuk melawan Legiun Ratu Adil (APRA), yang dibentuk oleh Kapten KNIL DST mantan Pasukan Khusus Angkatan Darat Kolonial Belanda Raymond Westerling pada Januari 1950 di Bandung.
Setelah pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia pada akhir Desember 1949, Slamet Riyadi dikirim ke Ambon untuk menekan pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) pada 10 Juli 1950.
Dalam operasi untuk menangkap Dr. Soumokil, pemimpin RMS, Slamet Riyadi dipercayakan oleh pimpinan TNI sebagai Komandan operasi untuk memimpin serangan ke Ambon.
Angkatan TNI berhasil menduduki sebagian besar Kota Ambon melalui pertempuran sengit kecuali beberapa posisi strategis, termasuk Benteng Victoria yang sangat terjaga. Saat itu, pasukan pemberontak diperkuat oleh mantan pasukan khusus kolonial Belanda yang sering disebut ‘Topi Merah’ dan ‘Topi Hijau’, yang memiliki kemampuan dan pengalaman untuk menggagalkan serangan TNI dengan lebih efisien.
Akhirnya, Benteng Victoria direbut. Namun dalam pertempuran sengit di gerbang benteng, Slamet Riyadi, yang selalu berada di garis depan memimpin pasukannya, terkena tembakan pemberontak ketika memberikan isyarat kepada anak buahnya. Meskipun mendapatkan perawatan medis, ia meninggal dunia pukul 21.45 pada 4 November 1950. Slamet Riyadi dimajukan secara anumerta menjadi Brigadir Jenderal.
Brigadir Jenderal Anumerta Slamet Riyadi telah membuktikan kepada generasi penerus pemimpin TNI bahwa ia adalah seorang pemimpin yang selalu berjuang di garis depan bersama anak buahnya. Ia selalu hadir di tempat dan saat yang paling kritis, mengendalikan situasi di lapangan, dan memberikan contoh. Ia tidak gentar dihadapi bahaya dan kehilangan nyawanya demi kemuliaan Indonesia dan TNI.