Belum lama ini, Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte mengemukakan kekhawatiran tentang kemungkinan Rusia menempatkan senjata nuklir di luar angkasa, sebuah langkah yang dipandangnya sebagai ancaman serius terhadap keamanan global. Dalam wawancaranya dengan surat kabar Jerman, Welt am Sonntag, Rutte mengungkapkan bahwa intelijen NATO menunjukkan indikasi bahwa Moskow tengah mempertimbangkan untuk menggunakan senjata pemusnah massal di orbit, yang berpotensi menghancurkan banyak satelit dalam satu serangan.
Kecemasan ini muncul seiring meningkatnya retorika nuklir dari Moskow pasca invasi Ukraina oleh Putin pada Februari 2022. Aktivitas peluncuran satelit oleh Rusia dan China juga memicu kekhawatiran akan keamanan luar angkasa. Rutte menjelaskan bahwa kerusakan terhadap satelit-satelit dapat memberi dampak besar pada sistem komunikasi global, navigasi, pemantauan cuaca, dan ekonomi.
Dalam menghadapi kompleksitas tantangan keamanan di luar angkasa, negara-negara anggota NATO berupaya meningkatkan kerjasama intelijen, membentuk komando luar angkasa nasional, dan mengembangkan teknologi satelit yang lebih canggih. Namun, sembari Rusia dituduh melanggar Perjanjian Luar Angkasa 1967 yang melarang penempatan senjata pemusnah massal di orbit, kurangnya mekanisme pengawasan yang efektif dan ketegangan geopolitik meningkat membuat pelanggaran semacam itu semakin mungkin terjadi.
Pada Mei 2024, Komando Luar Angkasa AS mengungkapkan bahwa salah satu satelit Rusia merupakan senjata anti-satelit di orbit rendah. Jenderal Stephen N. Whiting dari U.S. Space Command menegaskan keunggulan AS di luar angkasa, sementara juga didesak oleh persaingan dari Rusia dan China. Kekhawatiran NATO dan panggilan untuk respons internasional yang tegas menegaskan bahwa perlombaan senjata di luar angkasa adalah realitas strategis yang harus dihadapi dengan serius.