LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [SOETOMO (BUNG TOMO)]

by -109 Views

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Ketika Rakyat Surabaya menerima ultimatum dari pasukan Inggris, Bung Tomo menanggapi dengan teriakan menggelegar: ‘Allahuakbar’ dan ‘Merdeka atau mati’.

Kualitas kepemimpinan Bung Tomo bisa terlihat dalam pidatonya yang disiarkan oleh RRI Surabaya pada November 1945. Konon, pidato ini disiarkan terus menerus sampai pemuda Surabaya mencapai kemenangan melawan Pasukan Sekutu. Mungkin tanpa pidato ini dan keterampilan Bung Tomo sebagai seorang pembicara, Indonesia tidak akan menjadi bangsa merdeka seperti sekarang.

Pada tanggal 10 November 1945, dan selama sepuluh hari berikutnya, rakyat Surabaya bertempur dalam pertempuran sengit di sekitar Surabaya, yang sekarang populer dengan sebutan Kota Pahlawan.

Ketika membaca kisah sejarah hari-hari itu, seseorang tidak bisa tidak merasa kagum dan bangga.

Pada awal berdirinya Republik, ketika Indonesia masih minim persenjataan, rakyat, terutama para pemuda arek-arek Suroboyo, tidak mau menyerah pada ancaman dan ultimatum yang dikeluarkan oleh pemenang Perang Dunia II.

Pada saat itu, Tentara Inggris mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Surabaya. Jika, dalam waktu 24 jam, para pemuda Surabaya tidak menyerahkan senjata mereka dan meninggalkan kota, Tentara Inggris akan menghancurkannya dengan kekuatan luar biasa tank, kapal perang, dan pesawat mereka.

Kita bisa membayangkan beratnya pernyataan tersebut. Ultimatum ini diberikan oleh tentara yang baru saja memenangkan Perang Dunia II. Namun, para leluhur kita, pada usia yang sangat muda, menolak untuk diintimidasi. Mereka bahkan tidak bergeming. Mereka menolak ultimatum yang angkuh itu.

Sebaliknya, mereka berteriak ‘Allahuakbar’ dan ‘Merdeka atau Mati’. Mereka memilih untuk bertempur melawan pasukan Inggris daripada menyerah dan tunduk kepada mereka.

Arek-arek Suroboyo, para pemuda Surabaya, sungguh pantas mendapat kalbu dan penghormatan kita. Negara-negara yang mencemooh kita sebagai lemah, tertinggal, dan malas menyaksikan bagaimana orang Indonesia tidak gentar tunduk melalui ancaman, intimidasi, dan pasukan asing.

Pada tanggal 10 November dan hari-hari berikutnya, Tentara Inggris mengebom Surabaya dari segala arah. Akibatnya, puluhan ribu orang Indonesia kehilangan nyawa. Salah satu perkiraan menempatkan jumlah korban lebih dari 40.000 jiwa. Namun, arek-arek Suroboyo, pejuang kita, menolak menyerah, meski mengalami banyak korban. Meski jenazah berserakan di jalan-jalan dan parit serta sungai berubah merah dengan darah. Di Surabaya, para pejuang kita, pemuda kita, didukung oleh seluruh rakyat Surabaya, terus bertempur dengan berani di tengah hujan peluru dan hujan artileri berat.

Dalam pertempuran ini, selain Gubernur Suryo, yang ceritanya telah saya ceritakan sebelumnya, dan Hario Kecik, yang akan saya ceritakan, Bung Tomo menjadi sosok sentral dan berpengaruh yang memimpin dari garis depan pertempuran.

Soetomo, atau Bung Tomo seperti banyak orang secara penuh kasih menyebutnya, lahir di Surabaya pada tahun 1920. Semasa muda, ia adalah seorang wartawan lepas dengan surat kabar Soeara Oemoem, Ekspres, mingguan Pembela Rakyat, dan majalah Poestaka Timoer.

Pada tahun 1944, ia dipilih sebagai anggota Gerakan Rakyat Baru dan administrator Pemuda Republik Indonesia di Surabaya. Selain itu, pada Oktober 1945, Bung Tomo juga memimpin Front Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) di Surabaya. Inilah awal keterlibatannya dalam Pertempuran 10 November. Dengan jabatannya, ia bisa mengakses stasiun radio yang memainkan peran penting dalam menyiarkan orasinya yang penuh semangat untuk memperjuangkan dan membela Surabaya.

Kualitas kepemimpinan Bung Tomo bisa terlihat dalam pidatonya yang disiarkan oleh RRI Surabaya pada November 1945. Konon, pidato ini bahkan disiarkan terus menerus dan tidak berhenti sampai pemuda Surabaya mencapai kemenangan melawan Pasukan Sekutu:

Bismillahirrohmanirrohim… Merdeka!!!

Saudara-saudara, saudari-saudari segenap rakyat Indonesia, khususnya rakyat Surabaya. Kita semua tahu, hari ini Pasukan Bersenjata Inggris telah menyebarkan selebaran dengan ancaman kepada kita semua.

Sebelum batas waktu yang mereka tentukan, kita diminta menyerahkan senjata yang kita rebut dari Tentara Jepang. Mereka telah memerintahkan kita untuk mendatangi mereka dengan tangan terentang.

Mereka telah memerintahkan kita untuk mendekati mereka dengan bendera putih; menunjukkan bahwa kita telah menyerah kepada mereka.

Saudara-saudara, dalam peperangan sebelumnya, kita telah menunjukkan bahwa orang Indonesia Surabaya, pemuda-pemuda Maluku, pemuda-pemuda Sulawesi, pemuda-pemuda Bali, pemuda-pemuda Kalimantan, pemuda-pemuda Sumatra, pemuda-pemuda Aceh, pemuda-pemuda Tapanuli, dan pemuda-pemuda Surabaya sendiri, dalam pasukan masing-masing, dengan tentara rakyat yang terbentuk di desa-desa, mereka telah membangun pertahanan yang tak terkalahkan. Mereka telah menunjukkan kekuatan yang mampu menghantam musuh-musuh dari segala arah.

Saudara-saudara, musuh-musuh kita telah menggunakan taktik licik. Mereka mengundang Presiden kita dan pemimpin lainnya ke Surabaya, mengharapkan kita menjadi tunduk dan meninggalkan perjuangan kita. Tetapi sementara itu, mereka membangun kekuatan mereka. Dan sekarang bahwa mereka kuat, inilah yang terjadi.

Saudara-saudara. Kita semua, orang Indonesia Surabaya, akan menerima tantangan dari Tentara Inggris. Dan jika pemimpin Pasukan Inggris di Surabaya ingin mendengar jawaban rakyat Indonesia, jawaban pemuda Surabaya, dengarkanlah dengan seksama.

Inilah jawaban kami. Inilah jawaban rakyat Surabaya. Inilah jawaban pemuda-pemuda Indonesia kepada kalian semua!

Hey, Pasukan Inggris! Kalian memerintahkan kita membawa bendera putih dan menyerah kepada kalian. Kalian mengatakan kepada kita membentuk barisan tunggal dan mengangkat tangan kita di depanmu. Kalian menyuruh kami meletakkan senjata yang kami rebut dari Tentara Jepang dan menyerahkannya kepada kalian.

Kalian mengatakan kalian akan menghantam kami dengan segala kekuatan militer kalian jika ultimatum kalian tidak terpenuhi. Inilah jawaban kami:

Asalkan kita manusia-manusia Indonesia masih memiliki darah merah yang bisa kita gunakan untuk membuat sehelai kain merah putih, kita tidak akan menyerah. Kami menolak menyerah kepada siapapun. Rakyat Surabaya, bersiaplah untuk situasi berbahaya ini! Tapi saya ingatkan sekali lagi: Jangan menembak peluru pertama. Baru jika kita ditembak, kita akan membalas menembak. Kami akan menunjukkan kepada mereka bahwa kita benar-benar rakyat merdeka.

Dan bagi kita semua, saudara-saudara, kita lebih baik dihancurkan daripada dijajah. Semboyan kita tetap: Merdeka atau Mati! Untuk merdeka atau mati!

Dan kami yakin bahwa, pada akhirnya, kemenangan akan menjadi milik kita, karena Allah ada di pihak kita. Percayalah, saudara-saudara. Allah akan melindungi kita semua. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!!!

Source link