Ketakutan Ratu Arab dalam Konflik Hamas-Israel

by -89 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – Konflik bersenjata antara Israel dan kelompok pejuang Palestina, Hamas, ternyata juga melibatkan Amerika Serikat (AS). Banyak pihak menganggap bahwa Washington memiliki sikap tidak adil dalam menanggapi konflik ini.

Dalam 20 bulan terakhir, AS terus mengutuk kekejaman yang dilakukan oleh Rusia di Ukraina. Washington menganggap aksi Rusia tersebut ilegal dan kejam, dengan mengungkap bahwa Moskow melakukan pembunuhan terhadap warga sipil.

Namun, hal yang berbeda terjadi di Gaza. Meski telah banyak korban jiwa akibat serangan udara Israel, pemerintah AS yang dipimpin oleh Presiden Joe Biden belum mengeluarkan kecaman apa pun terhadap Tel Aviv.

Yang terjadi justru sebaliknya. AS justru membela Israel dengan menganggap bahwa mereka sedang membela diri dan mengklaim diri mereka sebagai penganut paham Zionis, yaitu kelompok yang meyakini bahwa negara Israel harus berdiri di wilayah Bukit Sion yang sebenarnya merupakan wilayah Palestina.

Hal ini menimbulkan reaksi dari berbagai pihak. Salah satunya adalah Ratu Yordania, Ratu Rania. Dalam wawancara dengan CNN International, ia mempertanyakan sikap AS dan sebagian negara Barat dalam menyikapi serangan Israel terhadap Palestina.

“Beberapa minggu terakhir kita melihat adanya standar ganda yang mencolok di dunia. Ketika serangan terjadi pada tanggal 7 Oktober lalu, dunia segera mendukung Israel dengan tegas dan mencoba membela diri mereka. Apakah kita diingatkan bahwa membunuh satu keluarga dengan senjata adalah tindakan yang salah, namun tidak masalah jika mereka mati karena serangan udara?” ujar Ratu Rania, seperti yang dikutip pada Rabu (25/10/2023).

Eskalasi kekerasan di wilayah Gaza terus meningkat setelah Israel melakukan serangan sporadis. Serangan ini dilakukan untuk menghancurkan kelompok Hamas yang menyerang Israel pada tanggal 7 Oktober yang lalu dan menewaskan 1.400 orang.

Meskipun menyatakan hanya menargetkan Hamas, serangan Israel justru banyak menimbulkan korban di kalangan warga sipil. Hingga saat ini, sudah ada setidaknya 5.700 korban jiwa di Gaza.

Pada hari Senin, dilaporkan bahwa setidaknya 400 orang tewas di Gaza setelah serangan udara Israel yang terus berlanjut selama 24 jam terakhir. Serangan ini terjadi di 25 titik di wilayah Palestina tersebut.

Selain serangan besar-besaran, Israel juga telah memutus akses terhadap bahan logistik, air, dan utilitas ke Gaza. Hal ini telah mengancam kehidupan warga Gaza, dengan fasilitas kesehatan yang kewalahan karena banyaknya korban dan keterbatasan pasokan obat-obatan serta listrik.

Para pemimpin Arab telah menyampaikan rasa frustrasi mereka terhadap ketidakberdayaan AS dalam menghentikan blokade Israel. Yordania, Mesir, dan Otoritas Palestina bahkan memutuskan untuk menarik diri dari pertemuan puncak dengan Presiden AS Joe Biden yang direncanakan di Yordania pekan lalu.

Kekhawatiran semakin meningkat bahwa konflik ini dapat meluas ke negara-negara tetangga di Timur Tengah. Israel bahkan mendorong warga sipil di daerah utara Gaza untuk pindah ke selatan menjelang operasi darat yang diantisipasi.

“Memaksa warga sipil Gaza untuk pindah adalah kejahatan perang berupa pemindahan paksa,” kata Dewan Pengungsi Norwegia.

Perintah ini juga mendapatkan protes keras dari pemimpin Yordania dan Mesir. Mereka mengatakan bahwa tindakan itu dapat menyebabkan wilayah tersebut terjerumus ke dalam perang.

“Perpindahan warga Palestina ke Yordania dan Mesir akan menjadi garis merah,” tegas Raja Yordania Abdullah.

Artikel Selanjutnya: Penampakan ‘Kuburan’ Mobil di Perbatasan Israel