PT PGN Tbk (PGAS), Subholding Gas Pertamina, mengungkapkan harga gas dari sektor hulu yang didapatkan untuk program jaringan distribusi gas bumi untuk rumah tangga (jargas) saat ini masih dikenakan tarif komersial. Direktur Utama PGN Arief Setiawan Handoko mengatakan bahwa saat ini perusahaan dikenakan tarif komersial lantaran perusahaan masih melaksanakan program jargas secara mandiri atau business-to-business (B to B), tanpa menggunakan skema subsidi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). “Kemudian sekarang ini, jargas mandiri kita melakukan business-to-business ya, komersial, artinya harga yang kita ambil dari upstream itu harga komersial,” ungkap Arief kepada CNBC Indonesia dalam program Energy Corner, Senin (27/11/2023). Dengan begitu, pihaknya saat ini tengah berupaya mengusulkan untuk bisa mendapatkan harga gas di hulu yang sama dengan harga gas dalam program jargas yang menggunakan skema APBN, yakni sebesar US$ 4,72 per MMBTU. Menurutnya, usulan harga gas yang sama dengan skema jargas APBN ini sejalan dengan program pemerintah untuk mendorong penggunaan gas untuk pelanggan rumah tangga. Terlebih, program jargas untuk rumah tangga ini juga sebagai salah satu bentuk layanan perusahaan untuk publik atau Public Service Obligation (PSO). Walaupun mendapatkan harga gas komersial dari sektor hulu, pihaknya menyebut perusahaan tetap menjual harga gas jargas kepada konsumen jauh lebih murah dibandingkan harga gas tabung alias Liquefied Petroleum Gas (LPG). Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan dalam 2 tahun mendatang, program jaringan distribusi gas bumi untuk rumah tangga (jargas) dengan skema kerja sama antara pemerintah dengan badan usaha bisa mulai berjalan pada tahun 2025 mendatang. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji mengatakan bahwa saat ini pihaknya tengah melakukan serangkaian persiapan untuk bisa merevisi aturan yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Gas Bumi Melalui Jaringan Transmisi dan/atau Distribusi Gas Bumi Untuk Rumah Tangga dan Pelanggan Kecil. Revisi aturan itu dilakukan untuk memasukkan skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) Jargas. Saat ini, Tutuka mengatakan bahwa skema yang berlaku adalah pemerintah atau badan usaha, bukan pemerintah dengan badan usaha. “Jadi kita sedang persiapan melalui Perpres itu. Kemudian ada persiapan-persiapan lainnya sampai tahun depan, jadi kita harap 2025 sudah bisa dilakukan (skema KPBU),” jelasnya kepada CNBC Indonesia. Saat ini, lanjut Tutuka, pihaknya tengah menjajaki kerja sama dengan berbagai lembaga/instansi untuk merumuskan perencanaan mulai dari market sounding, survei pengguna, dan survei konsumen. “Bagaimana di tempat yang kita lakukan ada (proyek) pilot di Batam dan Palembang. Itu sudah jauh yang dikaji akan dikembangkan ke 9 kota/kabupaten,” tambahnya. Tercatat, program yang dijalankan oleh pemerintah baru mencakup 800 ribu rumah tangga dalam kurun waktu bertahun-tahun. “Dengan KPBU ini kita harapkan bisa berapa kali lipat dari (kondisi) saat ini. Kita harapkan dari ratusan ribu (rumah tangga) mendekati tinggi lah untuk setiap tahun, sehingga target bisa dikejar,” pungkasnya. Dia juga mengatakan bila pemerintah dan badan usaha bekerja terpisah, maka biaya yang dikeluarkan akan semakin berat. Tutuka mengungkapkan dengan skema KPBU jargas, mekanisme penetapan harga bisa dilakukan mengikuti kebijakan skema KPBU Jargas. “Mekanisme penetapan harga itu mengikuti kebijakan ini supaya bisa berjalan program KPBU,” tutupnya.