LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [MAJOR GENERAL TNI (RET.) SUHARIO PADMODIWIRYO (HARIO KECIK)]

by -70 Views

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Saya sangat terkesan dengan kehidupan Hario Kecik. Saya bermimpi untuk mengubah kisah hidupnya menjadi film box-office suatu hari nanti, terutama perannya dalam Pertempuran Surabaya.

Saya terkesan bahwa seseorang tanpa latar belakang pendidikan militer bisa memiliki kepercayaan diri untuk melawan pemenang Perang Dunia II.

Jenis kepercayaan diri seperti itu memungkinkan kita melewati ujian pertama kemerdekaan kita dan menjadikan kita sebuah bangsa. Pertempuran Surabaya mungkin adalah ujian terberat yang datang setelah proklamasi kemerdekaan.

Setelah Gubernur Suryo dan Bung Tomo, saya ingin bercerita tentang Hario Kecik. Setelah membaca diarynya pada tahun 2015, Memoar Hario Kecik: Autobiografi Seorang Mahasiswa Tentara, saya sangat terkesan dengan kisah hidupnya.

Dia adalah seorang mahasiswa kedokteran yang tidak memahami politik dan akhirnya menjadi seorang pejuang. Dia adalah salah satu tokoh utama dalam Pertempuran Surabaya. Dia merupakan bagian dari Tentara Pelajar Indonesia (TRIP) dan menjadi komandan Korps Mahasiswa Jawa Timur (CMDT).

Kisah Hario Kecik sangat menarik. Saya sangat mendorong setiap pemuda Indonesia untuk membaca memoarnya. Terutama mengenai perannya sebagai seorang pelajar, kemudian mahasiswa kedokteran, seorang pejuang, dan akhirnya seorang perwira TNI berpangkat tinggi.

Dia sempat dicurigai oleh rekan-rekannya dalam hidupnya, terutama oleh rezim Orde Baru. Mungkin karena pandangannya yang cenderung kiri; karena jiwa populisnya, yang terbentuk oleh pengalamannya dalam perjuangan awal kemerdekaan Indonesia, terutama dalam Pertempuran 10 November di Surabaya.

Sebagai seorang pejuang muda, teman-temannya memilih Hario sebagai komandan karena dia pandai di sekolah dan fasih berbahasa Belanda dan Inggris. Dia melawan Pasukan Sekutu dalam momen-momen kritis dan menentukan, dari Oktober hingga November 1945.

Dia memimpin hanya beberapa puluh orang namun terlibat dalam peristiwa dramatis dalam Pertempuran Surabaya, yang merupakan pertempuran paling sengit dan berdarah yang pernah dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam perang kemerdekaan.

Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, arek-arek Suroboyo, termasuk Hario Kecik, merebut senjata senapan, pistol, senapan mesin, dan meriam dari Jepang. Beberapa dari mereka bahkan tidak tahu cara menembak meriam tersebut. Namun, kita tahu bahwa banyak tentara Jepang yang membantu mereka. Beberapa tentara Jepang meninggalkan pasukan mereka dan bergabung dengan pejuang kemerdekaan.

Mereka adalah orang-orang yang membantu melatih pemuda-pemuda kita untuk menggunakan senjata seperti SMR, SMG, dan meriam. Juga, meriam anti-pesawat. Semua itu diceritakan dalam memoar Hario Kecik.

Pada 1 Oktober 1945, dia menulis bahwa sekelompok orang dan prajurit dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) mengepung markas Kepolisian Militer Jepang (Kempeitai) di Surabaya. Mereka bermaksud merebut senjata Jepang.

Hario menggambarkan kondisi saat itu:

Pada saat itu, saya sadar sepenuhnya bahwa saya bukan siapa-siapa, hanya salah satu prajurit di tengah rakyat yang besar dan berani. Tidak ada komandan atau pemimpin. Hanya keinginan untuk maju bersama untuk mengalahkan musuh. Kami semua adalah pemuda dari desa-desa. Pakaian kami hanya menunjukkan betapa miskinnya kami.

Setelah berhasil merebut senjata, Hario Kecik mendirikan Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR), leluhur dari korps Polisi Militer TNI.

Peristiwa 10 November 1945, yang dimulai dari minggu ketiga dan keempat Oktober 1945, merupakan ujian bagi proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Memang, kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, telah diumumkan di Jakarta. Namun, Pasukan Sekutu menguji ketangguhan proklamasi tersebut di Surabaya selama Pertempuran Surabaya. Mereka menguji apakah rakyat Indonesia sepenuhnya mendukung proklamasi kemerdekaan.

Dalam pertempuran 10 November 1945, setidaknya 30.000 orang Indonesia tewas. Diperkirakan lebih dari 5.000 tentara Inggris terbunuh dan terluka.

Kami memiliki 30.000 korban terutama karena superioritas Pasukan Inggris dalam persenjataan modern. Pasukan Inggris mengerahkan lebih dari satu divisi, yang berjumlah sekitar 35.000 orang. Mereka didukung oleh kapal induk, pesawat tempur, kapal perang, dan meriam. Anda dapat membayangkan kekuatan dan keunggulan tembakan mereka dibandingkan dengan para Indonesia, arek-arek Suroboyo.

Jika kita mempelajari sejarah peristiwa tersebut, kita akan melihat bahwa semua pihak di sisi Indonesia bersatu. Para pemuda bersatu dengan rakyat biasa, tukang becak, petani. Semua bergabung. Mereka merebut senjata dari pasukan Jepang dan mengorganisir diri dalam satuan perlawanan. Sebagian bergabung dengan batalyon yang akhirnya membentuk TNI. Beberapa pasukan membentuk inti TNI pada 5 Oktober dengan nama TRI (Tentara Republik Indonesia). Jadi, beberapa pasukan telah mengorganisir diri ke dalam batalyon resmi. Mereka adalah batalyon PETA sebelumnya. PETA adalah tentara sukarelawan yang diorganisir oleh Jepang, singkatan dari ‘Pertahanan Tanah Air’.

Ada juga Korps Polisi Negara Republik Indonesia. Ada juga front pemuda, pasukan akar rumput dari berbagai komunitas. Beberapa terdiri dari siswa madrasah dari Surabaya dan dari seluruh Jawa Timur. Ada juga kelompok yang terdiri dari mahasiswa, termasuk Hario Kecik dan rekannya. Sangat menarik untuk mempelajari dinamika kelompok saat itu.

Kembali kepada Hario, saya terkesan bahwa seseorang tanpa latar belakang militer bisa memiliki kepercayaan diri untuk melawan pemenang Perang Dunia II. Dalam memoarnya, menjelang serangan 10 November, Hario menulis:

Kami siap menghadapi apa pun yang musuh tawarkan. Kami bukan ahli militer atau prajurit profesional. Kami hanya ingin tetap merdeka.

Kami mengambil keputusan yang telah disebutkan sebelumnya dan tekad dalam suasana yang sulit untuk dijelaskan. Saya tidak bisa dengan mudah menjelaskan ketegangan, optimisme, semangat, kemarahan murni di hati pemuda yang berkumpul di tempat tersebut hanya dengan kata-kata.

Pada saat itu, saya juga tenggelam dalam suasana itu. Semuanya dimulai ketika saya bersama pemuda-pemuda, menggali parit pertahanan di halaman pangkalan kami di Pasar Besar, ketika kami mendengar kapal perang Inggris tiba di perairan Tanjung Perak [pelabuhan Surabaya].

Pikiran rasional saya, atau tepatnya, ‘pikiran intelektual’ saya, mengatakan bahwa pangkalan kami sulit dipertahankan dari serangan musuh karena lokasinya, bentengnya yang lemah, dan faktor-faktor lain. Namun, pemuda-pemuda itu bertekad untuk mempertahankan pangkalan sampai kehabisan tenaga.

Akhirnya, setelah ‘pikiran intelektual’ saya tumbang di bawah ’emosi’ atau ‘semangat’ saya, saya setuju dengan mereka. Kami hanya memiliki beberapa jam untuk bersiap-siap.

Pada malam itu kami tidak membahas garis komando, logistik, dll. Kami sudah siap, dan tidak ada seorang pun dari kami yang meragukan.

Kami menjadikan strategi yang rumit menjadi satu moto: Merdeka atau mati. Tak seorang pun mempertanyakan kekuatan musuh, dan tak seorang pun mempertanyakan kekuatan kami. Mungkin tanpa disadari, kami semua dengan cepat memutuskan bahwa sudah terlambat untuk khawatir tentang hal itu. Kami harus melawan musuh besok.

Membaca memoar ini membuat saya merinding. Begitulah semangat yang membuat kita dapat mempertahankan kemerdekaan kita. Begitulah semangat yang membuat kita dapat melewati ujian pertama kemerdekaan kita dan menyatukan kita menjadi sebuah bangsa. Itu mungkin merupakan ujian pascakemerdekaan paling keras.

Saya selalu membayangkan bagaimana jika saya dapat berada di Surabaya pada saat itu. Apakah saya akan seberani Hario Kecik? Apakah saya akan sebersemangat Hario Kecik dan teman-temannya? Itulah beberapa pertanyaan yang selalu saya ajukan pada diri sendiri.

Oleh karena itu, setiap kali saya memberikan kuliah atau melatih generasi muda, saya selalu menggunakan Hario Kecik sebagai ikon pemuda Indonesia teladan.

Keheroikan yang dipersonifikasikan oleh Hario Kecik sangat jelas. Dia memberikan contoh bagi generasi berikutnya, contoh bagi setiap orang Indonesia.

Source link