Konflik yang telah berlangsung selama dua tahun di Sudan, memecah negara menjadi dua kekuatan bersenjata yang saling bertikai. Serangkaian kekejaman terbaru di Darfur memperlihatkan eskalasi mengerikan, dengan lebih dari 200 warga sipil dilaporkan tewas dalam serangan brutal oleh pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF). Serangan mematikan ini terjadi di kota Um Kadadah dan kamp-kamp pengungsian Zamzam dan Abu Shouk, menunjukkan target yang jelas terhadap etnis tertentu. Organisasi bantuan Relief International juga mengalami serangan yang menyebabkan kehancuran infrastruktur kesehatan yang vital bagi para pengungsi di Darfur.
PBB menyatakan bahwa serangan-serangan ini dilakukan secara terkoordinasi pada 11 April, memicu pertempuran sengit dan menciptakan bencana kemanusiaan baru. Amerika Serikat telah mengecam kedua belah pihak dalam konflik ini, dengan RSF dituding melakukan genosida dan tentara Sudan disebut terlibat dalam serangan terhadap warga sipil. Kedua kamp masih berada di bawah gempuran RSF, menandakan eskalasi kekerasan yang signifikan.
Pemerintah Sudan mengajukan gugatan ke Mahkamah Internasional menuding Uni Emirat Arab terlibat dalam genosida sebagai pendukung lama RSF, menciptakan goncangan di dunia internasional. Konferensi tingkat menteri mengenai Sudan dijadwalkan digelar di London sebagai respons terhadap tragedi kemanusiaan yang terjadi. Dengan lebih dari 12 juta orang yang terpaksa mengungsi dan puluhan ribu orang tewas, konflik di Sudan telah menciptakan krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Para ahli memperingatkan bahwa serangan terkoordinasi di tiga lokasi sekaligus menunjukkan peningkatan drastis dalam kekerasan terhadap warga sipil. Konferensi di London dianggap sebagai ujian besar bagi negara-negara mitra dalam menanggapi kekejaman yang terjadi di Sudan, membutuhkan respons darurat diplomatik dan aksi nyata untuk melindungi warga sipil dan menghentikan tindakan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.