Gaji yang Stabil, Pengeluaran Naik, dan Utang Meningkat

by -146 Views

Tren kenaikan suku bunga mulai masuk ke Indonesia, setelah Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan BI-7 hari reverse repo rate sebesar 25 basis poin menjadi 6% pada 19 Oktober 2023. Kondisi ini berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Ekonom senior yang juga mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menjelaskan bahwa kenaikan suku bunga acuan akan meningkatkan bunga kredit masyarakat. Hal ini akan membuat pengeluaran atau belanja masyarakat semakin tinggi di tengah stagnasinya pendapatan masyarakat.

“Pasti lebih mahal. Sementara pendapatan dan tabungan tetap sama. Jika beban dari rumah tangga naik, maka konsumsi akan melambat,” kata Chatib kepada CNBC Indonesia.

Menurunnya konsumsi masyarakat dapat terlihat dari melemahnya indeks keyakinan konsumen (IKK) pada bulan September 2023. Pada bulan tersebut, IKK yang dirilis oleh BI berada di level 121,7 atau turun dari angka indeks pada bulan Agustus 2023 sebesar 125,2.

Meskipun begitu, data terakhir IKK masih dalam level optimis karena angka indeksnya di atas 100. Namun, rasio tabungan dari semua kelompok pengeluaran, baik yang bergaji tinggi maupun pas-pasan, mengalami penurunan.

Bank Indonesia mencatat bahwa untuk kelompok pengeluaran di atas Rp 5 juta, rasio tabungannya turun dari 18,6 menjadi 18,3. Penurunan yang paling signifikan terjadi pada kelompok pengeluaran Rp 4,1-5 juta dari 17,9 menjadi 16,6, dan kelompok Rp 1-2 juta turun dari 15,5 menjadi 15,1.

Menurut Chatib, fenomena ini menandakan adanya dampak suku bunga terhadap tabungan masyarakat. Artinya, masyarakat tetap melakukan konsumsi, namun dengan mengurangi tabungan atau melakukan utang baru.

“Jika seseorang melakukan konsumsi dan tabungannya berkurang, itu berarti ia sudah mulai menggunakan tabungan. Atau pilihan lainnya adalah bagi mereka yang berada di kelas menengah, penggunaan kartu kredit akan naik. Mereka akan berbelanja dengan berutang,” ungkap Chatib.

Survei perbankan Bank Indonesia untuk kuartal III-2023 juga mencatat peningkatan penyaluran kredit konsumsi. Saldo bersih tertimbang (SBT) untuk penyaluran kredit konsumsi baru pada periode itu mencapai 91,2%, naik dari kuartal II-2023 sebesar 85,3%.

“Bayangkan konsumsi naik, namun pendapatan tetap sama, artinya yang dilakukan adalah menggunakan tabungan. Namun, seberapa lama mereka dapat bertahan dengan menggunakan tabungan. Pilihannya hanya dua, mereka berutang atau pada quarter berikutnya, konsumsinya akan turun,” ujar Chatib.

Meskipun begitu, Kepala Ekonom Bank Syariah Indonesia (BSI) Banjaran Surya Indrastomo menganggap bahwa tren suku bunga tinggi ini tidak langsung berdampak pada golongan masyarakat bawah, mengingat pemerintah dan Bank Indonesia masih dapat mengendalikan inflasi di kisaran target 2-4%.

“Namun, di sisi lain, dampak perlambatan ekonomi dalam jangka panjang akibat suku bunga tinggi dapat memengaruhi pengeluaran mereka melalui peningkatan tabungan bagi masyarakat menengah ke atas yang mempengaruhi perkembangan sektor riil, sehingga transaksi dan multiplier bagi masyarakat bawah juga menurun,” ucap Banjaran.

Menurutnya, dampak langsung dari tren suku bunga tinggi saat ini akan lebih berdampak pada kinerja sektor riil. Sebab, sumber pembiayaan mereka akan semakin tinggi. Namun, Bank Indonesia telah mengeluarkan instrumen Makroprudensial (KLM) dan menurunkan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) untuk mengantisipasi masalah itu dan mendukung pembiayaan bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

“Tapi, kenaikan BI-7 hari reverse repo rate berpotensi memperlambat pertumbuhan sektor riil karena potensi kenaikan biaya pembiayaan yang menjadi sumber investasi dan penggerak bagi sektor riil. Melihat potensi dampak tersebut, Bank Indonesia mencoba mengatasinya dengan langkah tersebut,” tegas Banjaran.

[Video CNBC]

(Artikel ini merupakan ringkasan dari artikel yang ditulis pada CNBC Indonesia oleh haa/haa)